Persatuan dan persaudaraan atau wahdah dan ukhuwwah memang dua kata yang terasa indah dalam ucapan dan angan-angan. Semua orang yang berhati sehat ataupun kurang sehat seringkali membicarakan masalah ini dan tentunya mereka juga mengharapkan terwujudnya hal itu baik dalam sekup besar ataupun kecil, dalam skala luas ataupun sempit. Tetapi juga seringkali lidah kita yang tak bertulang ini mengeluarkan kata-kata dan ucapan yang merusak wahdah dan ukhuwwah di antara kita atau di antara kaum muslimin tanpa kita sadari.
Bahkan terkadang jari telunjuk kita menunjuk dan menuding bahwa si Anu kerjanya hanya sikut sana dan sikut sini sehingga merusak wahdah dan ukhuwwah. Tanpa disadari bahwa hanya satu jari saja yang mengarah ke orang lain, sementara tiga jari lainnya mengarah dan menunjuk ke diri kita sendiri.
Yang jelas perpecahan dan permusuhan itu bukan emas dan perak yang harus kita terima sebagai warisan dari ayah atau kakek ataupun abang-abang kita. Perpecahan dan permusuhan merupakan racun , sedangkan wahdah dan ukhuwwah merupakan madu dan sari buah segar. Mungkinkah kedua kata itu bisa terwujud? Bagaimana sih caranya?
Wahdah dan ukhuwwah, barangkali, jika dilihat dengan kacamata akhlak, maka ia merupakan sifat yang luhur dan terpuji. Sebuah kelompok atau masyarakat yang kehidupannya dihiasi dengan sifat terpuji ini pasti akan mengalami kedamaian dan ketentraman.
Karena itu, akhlak menuntut segenap kaum muslimin agar menyandang sifat mulia ini. Wahdah dan ukhuwwah, barangkali, jika dilihat dengan kacamata fiqih, maka secara taklifi setiap orang Islam wajib melakukan dan membina wahdah dan ukhuwwah. Sehingga bagi siapa saja yang tidak menjalaninya atau meninggalkan wahdah dan ukhuwwah ini, maka secara taklifi ia berdosa karena ia dianggap telah meninggalkan satu kewajiban dalam agama Islam.
Yang jelas menurut kacamata fiqih bahwa perbuatan dan perkataan apapun yang menyebabkan timbulnya perpecahan dan permusuhan adalah haram dan pelakunya bisa jadi termasuk melakukan dosa besar. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata dan bersikap.
Memang terkadang, ketika orang lain -padahal sesama mukmin- telah menyinggung perasaan hati kita atau kita merasa sakit hati karena ucapan atau sikapnya, kita mengatakan bahwa hukumnya haram merusak kehormatan mukmin, kita sampaikanlah hadits mengenai kemuliaan mukmin itu lebih tinggi dan lebih agung daripada kehormatan Ka’bah.
Tetapi, ketika ucapan, ulah dan tingkah laku kita yang dapat menyakiti orang lain dan sesama mukmin juga, kita sama sekali melupakan hadits tersebut. Ini namanya curang dong! Pertanyaan: Sejak dulu hingga detik ini, pernahkah kita mendengar atau telah sampai ke telinga kita dari saudara kita bahwa kita pernah atau malah sering merusak wahdah dan ukhuwwah di antara kita? Jika pernah, sudahkah kita mencoba untuk meneliti dan mengoreksi berbagai ucapan dan sikap kita? Jangan-jangan betul juga bahwa kita pernah merusak wahdah dan ukhuwwah di antara sesama kita, cuma kitanya saja yang tidak menyadarinya. Jika benar, mari kita segera bertaubat dan berusaha untuk memperbaiki diri kita untuk langkah-langkah selanjutnya.
Yang jelas, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan sesama kita sehingga tercipta wahdah dan ukhuwwah yang didambakan. Kalau kita tidak mau memperbaiki ucapan dan sikap kita, atau kita yang saling sikut menyikut tidak mau menahan dan menghentikan sikutan tersebut, atau kita ogah mewujudkan wahdah dan ukhuwwah, ya kita tunggu saja pengadilan Imam Zaman Ajf atau pengadilan dan hisab di akhirat nanti. Bukankah saling mendoakan dan memaafkan itu lebih baik daripada saling sikut menyikut? Ironisnya terkadang yang diperebutkan itu adalah uang recehan atau kursi yang sudah rusak dan tua.
Jika kita mau menengok ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits dan riwayat para imam yang menyinggung tentang pentingnya wahdah dan ukhuwwah dan bahayanya perpecahan dan permusuhan, maka tentunya sangat banyak sekali. Misalnya pada surat al-Anfal ayat 46.
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ٤٦
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfal : 46)
Di dalam ayat ini, setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita dan orang-orang mukmin agar mentaati Allah dan Rasul-Nya, Dia melarang kita untuk saling sikut menyikut. Karena hal itu, disamping akan membuat kita kandas dalam menuju dan meraih cita-cita dan harapan kita, juga akan membuat kita lemah dan kehilangan wibawa di mata dan di hadapan musuh-musuh kita.
Setelah itu kita disuruh bersabar. Bersabar dan menahan sikutan apalagi tendangan, artinya jangan menyikut apalagi menendang kawan sendiri. Bersabar jika disikut atau dikritik jangan cepat marah atau cepat ngambek. Tapi hadapilah dengan tersenyum dan lapang dada serta cepat-cepat koreksi diri; apakah kritikannya itu warid ataukah tidak. Jika memang kritikan tersebut betul-betul tidak warid atau tidak mengena atau tidak tepat, maka kita harus menjelaskannya dengan penuh bijak dan arif. Bukan malah dengan emosi atau caci maki.
Jika kritikan kawan kita itu memang sesuai, maka kita harus memperbaiki statemen, ucapan atau sikap kita secepatnya dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan jangan lupa kita ucapkan terimakasih kepada kawan kita yang telah menyampaikan kritikannya tersebut. Di sisi lain, kitapun disuruh bersabar jangan cepat dan mudah mengkritik orang lain, apalagi sesama kawan demi menjaga wahdah dan ukhuwwah.
Apabila sudah kita pikirkan baik-baik dan sudah kita pertimbangkan matang-matang bahwa teman kita itu perlu dikritik atau ditegur atau diingatkan untuk tujuan ishlah dan meluruskan kesalahannya, maka kritikan itu harus kita sampaikan dengan penuh hikmah dan lembut, baik dengan ucapan ataupun dengan tulisan, ataupun dengan isyarat dan tidak perlu menyebutkan namanya karena al’Aqil Yakfi bil Isyarah. Terkadang memang ada juga orang yang degil, seringkali dikritik karena kekeliruannya yang sudah jelas, tetapi dia tetap saja dengan pendiriannya yang salah sehingga mengakibatkan retaknya wahdah dan ukhuwwah di antara kita.
Kritikan yang membangun dan disampaikan dengan santun dan dengan bahasa yang sopan, akan memajukan seseorang yang dikritik. Tetapi kritikan atau teguran yang keras dan dengan bahasa preman, bukan malah memperbaiki orang yang dikritik, tetapi malah akan menimbulkan kedengkian dan permusuhan serta dendam di dalam hati.
Seorang ayah atau ibu yang menegur anaknya dengan keras dan dengan bahasa yang menusuk hatinya, tidak akan membuat anak itu mengakui dan memperbaiki kesalahannya, bahkan malah menimbulkan sifat dendam di dalam hatinya. Begitu pula ketika si suami menegur isterinya atau isteri menegur suminya.
Ucapkanlah kata-kata sayang ketika menegur anak atau isteri ataupun suami. Sangat ironis sekali jika seorang ibu sebagai seorang wanita yang seharusnya menampakkan sifat keibuannya kepada anaknya, yang seharusnya mengeluarkan kata-kata lembut dan sayang kepada anaknya sesuai dengan tabiat keibuan dan kodrat kewanitaannya, bukan malah mengeluarkan kata-kata keras dan caci maki kepada anak-anaknya.
Kalau menurut bimbingan dan aturan Islam atau al-Qur’an terkait dengan masalah saling menasihati atau saling menegur atau mengkritisi demi membangun wahdah dan ukhuwwah, maka akan kita dapati bahwa orang yang salah atau keliru itu, harus diperbaiki atau dinasihati ataupun dikritisi.
Karena kita semua bukan maksum, maka alangkah baiknya jika kita saling menasihati, saling menegur dan mengkritisi dengan menjaga sopan santun dan adab-adabnya tentunya. Dengan demikian, bukan saja murid yang salah atau keliru yang mesti atau selalu diluruskan atau dinasihati dan dikritisi oleh gurunya atau ustaznya atau oleh muballig.
Tetapi seorang guru atau ustaz ataupun muballig yang telah jelas kekeliruannya atau kesalahannya ataupun kekhilafannya, perlu juga diluruskan atau dinasihati atau dikritisi oleh orang lain yang mengetahui kesalahan atau kekeliruan guru tersebut, sekalipun yang mengetahui kekeliruannya itu adalah muridnya sendiri. Dengan kata lain bahwa guru atau muballig dan kita semua tidak ada yang kebal dari nasihat atau teguran ataupun kritikan dari orang lain, sekalipun dari murid-murid kita
Akan beruntunglah jika seorang guru atau muballig ketika ia dikritik atau ditegur oleh murid-muridnya karena kekhilafan atau kekeliruannya, kemudian dengan lapang dada ia mengakui kesalahan atau kekhilafannya itu. Dan hal itu tidak akan mengurangi wibawanya di hadapan murid-muridnya.
Bahkan malah akan membuat murid-muridnya semakin menaruh simpati kepadanya. Tetapi sebaliknya, jika seorang guru atau muballig yang keliru atau khilaf itu, ketika dikritik atau ditegur oleh murid-muridnya malah ngambek atau menggerutu, maka hal ini akan membuat murid-muridnya tidak simpati lagi dan akan menjauhinya
Sebagian orang bilang juga: Wahdah dan ukhuwwah di antara kita saja sangat sulit terwujud, apa lagi wahdah dan ukhuwwah dengan kelompok lain walaupun sesama kaum muslimin karena sudah lama antara sesama muslim berkonflik soal perbedaan .
Wahdah dan ukhuwwah lawannya adalah furqah atau iftiraq dan ‘adawah, atau perpecahan dan permusuhan. Apabila perpecahan dan permusuhan itu dianggap sebagai penyakit yang sangat berbahaya, maka sebelum kita berupaya mencari obatnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan pernyakit tersebut. Karena cara yang efektif dalam mengobati suatu penyakit adalah dengan mengetahui sebab-sebabnya. Selama sebab-sebabnya itu belum diketahui, maka sangat sulit mencari dan menentukan obatnya.
Jadi, solusinya menurut bimbingan sayr sulk dalam litelatur psikologi Islam, yang pertama harus kita lakukan adalah takhliyyah, kemudian barulah tahliyyah. Dengan kata lain takhally harus kita dahulukan daripada tahally. Takhliyyah atau takhally artinya menguras, mengosongkan dan membersihkan hati dari berbagai sifat buruk seperti hasud, takabbur, meremehkan dan merendahkan orang lain, merasa benar sendiri yang lain itu salah, merasa paling pandai, dlsb. Sementara tahliyyah atau tahally artinya mengisi dan menghiasi hati dengan berbagai sifat baik dan terpuji seperti tawaddhu’, menghormati orang lain, santun, penolong, kasih sayang, dsb.