Aristoteles menyakini bahwa demokrasi harus sepenuhnya partisipatoris (dengan beberapa pengecualian di masa itu seperti perempuan dan budak) dan bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama. Untuk meraih tujuannya semestinya demokrasi harus menjamin kedudukan yang relatif setara, kepemilikan yang moderat dan tidak berlebihan, dan kemakmuran untuk semua orang.
Dengan kata lain, sebenarnya Aristotles merasa bahwa jika ada kutub ekstrem antara yang kaya dan yang miskin, Anda tak akan bisa bicara serius tentang demokrasi. Demokrasi harus sejalan dengan yang kita sebut sebagai welfare state (negara kesejahteraan). Konsep negara yang berdasarkan kesejahteraan adalah tidak adanya penumpukan yang berlebihan pada satu sisi masyarakat saja dan pemerintah tidak abai dengan nasib warga di lapisan bawah.
Asumsi bahwa kurang meratanya kesejahteraan bisa merusak sebuah demokrasi karena ide bahwa kekayaan yang berlebihan tak bisa hidup berdampingan dengan demokrasi. Ketimpangan yang terjadi dari sebuah penyelenggaran demokrasi bisa menimbulkan dua pilihan; mengurangi kemiskinan atau mengurangi demokrasi. Demokrasi yang pada mulanya memang diikhtiarkan sebagai jalan terbaik menuju masyarakat yang berdaya di semua segi kehidupan, kini mesti dikaji kembali.
Karena kini demokrasi tertumbuk jalan buntu ketika politik menyimpang dari hakikatnya yang sarat dengan nilai budaya, moral dan etika. Dan ditambah lagi rongrongan kapitalisme yang mengakibatkan penumpukan kekayaan pada sebagian golongan. Dan kondisi ini diperparah dengan tidak pedulinya pemerintah untuk mengatasi kondisi ini.
Mendiagnosis keberhasilan demokrasi
Salah satu indikator keberhasilan sebuah demokrasi adalah pelaksanaan politiknya, Tapi untuk Indonesia sangat menggelitik. Karena di usia 70 tahun pasca kemerdekaan dan 16 tahun fase reformasi saat sekarang ini ada yang mengekspresikan/mengargumentasikan ketidakpercayaan dengan kultur politk negeri ini dengan nyeleneh, seperti “Negeri Setengah Demokrasi”. Atau saya sendiri mengatakan “Demokrasi Prosedural”. Dan kebanyakan orang pun mengamini pernyataan bukan tanpa alasan tersebut.
Hari ini bisa kita cermati dari orientasi pelaku politik lebih didominasi tafsir politik dan ekonomi ketimbang sosio-kultural. Tafsir politik tergambar dari kentalnya relasi kekuasaan antar komponen kepentingan. Suara massa dibonceng rame-rame demi sepotong jabatan politik, di tingkat partai atau posisi publik lainnya.
Penggalangan massa pun masuk dalam ranah ekonomi, ada perniagaan yang berlangsung di sana. Relasi jual-beli ini mengondisikan harus baliknya modal yang telah ditanamkan ketimbang visi kesejahteraan yang kelak mesti dibangun untuk semua. Visi kesejahteraan, yang mestinya ditegakkan dari himpunan suara yang digalang, menciut menjadi kemakmuran kelompok. Kesejahteraan sedikit orang itulah yang kelak melesakkan kepentingan-kepentingannya ke wilayah luas (public).
Situasi ini dipastikan serta-merta menjauhkan pelaku politik dari prilaku asketisme (memerangi kejahatan). Individu yang masuk sarang kekuasaan pun segera menjauh dari sifat kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. Padahal, perjuangan memberdayakan masyarakat justru membutuhkan sifat-sifat tersebut, sifat yang menzikirkan kebutuhan khalayak.
Prilaku yang larut dalam kepentingan pribadi dan kelompok mutlak kesulitan menyelami persoalan masyarakat luas. Kalau problem saja tak diselami, bagaimana masalah akan diidentifikasi dan rumusan solusi akan menjauh sejauh-jauhnya Instrument-instrumen politik, yang menegakkan diri pada ketidakberadaban itu hanya melahirkan upaya mengejar fasilitas dan previlese dari pada mengabdikan waktu dan pikirannya bagi orang banyak. Situasi ini sesungguhnya membalik jarum jam sejarah ketika demokrasi yang dicita-citakan malah ditafsir sesuai selera penghayatnya.
Ketika politik berubah menjadi urusan segelintir orang, pertaruhan yang dimainkan menjadi mengerikan. Jutaan manusia bisa dengan gampang digelombangkan nasibnya oleh kasak-kusuk satu-dua elit. Maka, ketika politik cuma menjadi papan catur pertarungan politisi tak bermarwah, harga yang tertera menjadi teramat mahal.
Hingar-bingar politik pada akhirnya cuma terjadi untuk soal-soal jangka pendek, sarat kepentingan dan berlumur tipu muslihat.
Hingga demokrasi dijiwai sebagai seperangkat aturan bersama yang dipahami sampai bisa diakali tanpa menyalahi prosedur dan memang telah nampak kronis di negeri tercinta ini. Karena memang pilar-pilar kekuasaan yang harusnya menjadi penjaga idealisme demokrasi rakyat juga sudah berselingkuh, hingga menjelma sebagai benteng-benteng pelindung, yang muncul dari suatu produk politik sebagai komoditas.
Sampai akhirnya apakah rakyat bangga hanya disuguhkan euforia hak demokrasi pasif baik legislatif tingkat I, II ataupun eksekutif dari kabupaten, provinsi sampai ke nasional yang datang silih berganti dalam lima tahunan? Apakah rakyat juga yakin sudah benar-benar memiliki semangat demokrasi? Kalau suaranya saja rela digadaikan selama lima tahun dengan harga sangat murah.
Pentingnya membangun konstruksi berpikir
Maka, konstruksi berfikir yang harus dibangunkan ketika barometer demokrasi itu terjadi dalam hajat lima tahunan, ada beberapa perbaikan sesegera mungkin pada alur simpul-simpul panggung pesta demokrasi itu sendiri. Dimulai dari mengadabkan para pelaksana, peserta dan pemilih pemilu sehingga muncul simbiosis rekruitmen kader bangsa yang beradab. Dan jauh daripada itu semua, di tengah krisis kepercayaan pada pilar-pilar kekuasaan yang dikatakan sebagai trias politika oleh Jon Lock “Eksekutif, Legislatif dan Federatif” ataupun Montesquieu “Eksekutif, Legislatif Dan Yudikatif” dimana keduanya meletakkan sudut pandang pada pelaksana, pengawas dan pengadil, dengan segala komponen pendukung didalamnya yang belum mampu membawa semangat demokrasi semestinya.
Maka kini, bagaimana mahasiswa/kelas intelektual mampu menjiwa untuk dapat memainkan peran pemikir dan mengkaryakan pemikiran dengan upaya penyadaran masyarakat luas agar dapat besama-sama secara aktif menjelma sebagai motor penggerak revitalisasi cita-cita demokrasi yang harus diselenggarakan dengan prosedur berkualitas sampai tercapainya subtansi demokrasi di negri kaya akan potensi tapi nampak ironi.
(Tulisan pernah di muat di http://www.tablighmu.or.id/2016/01/ironi-demokrasi.html, untuk konteks indonesia)