Oleh: Izzah Dejavu
SAYA menghadiri Rapat Umum Angkatan Pemuda Insaf yang dianjurkan Malaysia Muda pada Sabtu lepas dengan semangat untuk bergerak ke depan dengan lebih aktif. Dari LRT Dang Wangi, saya berjalan lebih 1km kerana tersesat melalui jalan-jalan kecil yang memisahkan bangunan-bangunan besar di ibu kota.
Ketika peluh mulai jatuh dari dahi ke hujung dagu, saya menemukan The Library Coffee Bar, sebuah kedai kopi yang menyediakan perpustakaan untuk dinikmati penggemar kopi. Dari jauh saya lihat orang ramai telah berkumpul benar-benar di hadapan lampu isyarat di bawah jejantas. Pasukan polis dari tadi asyik memerhati mereka yang berpakaian tradisional, berbaju putih dan ikatan lilit merah di tangan. Saya sendiri tidak tahu apa yang ditakuti atau apa yang ingin dikawal beramai-ramai begitu.
Sepasang mata saya meninjau ke dalam café. Ternyata, Si Dia, yang berkemeja putih telah lama menunggu dalam café. Kopinya telah separuh cawan dihirup. Tahulah saya, barangkali telah lama benar dia menunggu di sini. Buku The Myth of Sisyphus, novel karya Albert Camus di tanda rapi pada halaman 43, sebelum kami berjalan memasuki barisan perarakan menyanyikan lagu Buruh Tani dan Darah Rakyat. Bendera merah-putih berkibaran. Plakad ‘Negara Sakit, Wanita Bangkit’ , ‘Awas Wanita Bangkit Berjuang’, ‘Students Unite Fight Corruption!’ di julang ke awan.
Sesekali saya curi-curi memandang si dia. Memang itu sikap yang buat saya senang bersama dia. Semangat-yang ada dalam diri. Dialah yang menemukan saya pada titik bahawa ideologi harus dicabar dengan aksi- walaupun saya bukanlah gadis yang percaya pada ideologi.
*****
‘…Dunia yang lebih baik adalah dunia di mana kita boleh jujur dengan diri kita, menyuarakan apa yang terpendam dalam sanubari, adalah dunia di mana kita henti memuja pemimpin dan menuntut mereka bergerak dengan kita ke arah kebaikan, bukan menguasai kehidupan kita, dan kemudiannya memisahkan mereka yang terpinggir…’
Jam menunjukkan tepat jam 3.24 petang ketika Manifesto ‘Waktu Muda Tidak Menunggu’, (Manifesto asal: ‘Youth Do Not Wait’) oleh saudari Ainina diterjemah oleh Ken menjadi penutup di perarakan memperingati #API17.
Jujurnya,
memang gerakan mahasiswa telah mati.
Jujurnya,
kampus -kampus dicemari mahasiswa partisan yang tersekat dengan sekatan-sekatan parti politik
Jujurnya,
mahasiswa sudah tidak percaya pada idea sendiri dan pergerakan anak muda.
Jujurnya,
mahasiswa yang dulu menolak menyerah, kini lebih rela dipenggal dalam tangan parti politik
Jujurnya,
mahasiswa sudah terpisah jauh dari bersama masyarakat
Jujurnya,
bermatian dalam hal yang entah-entah lebih senang untuk membuktikan kekuasaan.
Jujurnya,
Mengajari mahasiswa menghitung hari graduasi memang enak, tapi yang terbaik adalah mengajari mereka apa yang perlu dihitungkan.
Jujurnya,
Mahasiswa harus bergerak lagi sekali ini dari tingkat paling bawah membangun gerakannya. Ketika banyak mahasiswa yang percaya tugas kuliah adalah jadi sarjana, bekerja dan bangun keluarga. Gerakan mahasiswa harus lebih keras percaya membentuk jati diri-membina prinsip dan pendirian, dan paling penting terus bertebar dan bergerak kerja dalam situasi masing-masing.
Jujurnya,
Keberpihakan: membuat mahasiswa menjadi fosil. Anak-anak muda lahir dalam keadaan segar tubuh tapi mati fikirannya. Mereka lupa menjadi mahasiswa itu memang istimewa. Masa terbaik dalam hidup yang tidak mungkin berulang lagi. Masa terindah yang patut dijalani dengan mimpi, keberanian, dan imaginasi.
*****
“Merdeka!” laungan Cikgu Ishak Surin, yang di sambut dengan ‘Dengan DARAH!’ menyentak persoalan-persoalan kejujuran dalam diri saya. Dia yang masih di sisi perlahan mendekat seolah tahu apa yang bermain di minda,
“Masih takut hari ini hanya bakal menjadi hal-hal romantis anak muda?” soalnya.
Saya mengangguk kecil.
Dia memandang mata saya dalam. Tersenyum nipis tetapi masih mengekalkan wajah serius seperti selalu.
“Mengambil semangat #API71 bukanlah romantisme terhadap sejarah tetapi satu titik untuk para pemuda yang masih percaya pada perubahan melalui peluh para tani, sakit kaum marginal dan kemiskinan kaum tertindas untuk bergerak ke depan. Dalam ketiadaan alternatif, anak muda perlu ke depan, memimpin barisan.
Bukankah kelmarin ketika kita membaca ‘Duri dan Api’, kita telah bertekad untuk tidak lagi memandang ke belakang? Seperti kata yang selalu kau ungkap, yang patah akan tumbuh, yang hilang akan berganti.”
Kawan-kawanku yang dikasihi
di belakang duri di depan api
kita tidak bisa undur lagi
duri dan api, tajam panasnya kita hadapi.
Semalam dan hari ini kita diukir sejarah
di mana air mata tidak akan menitik tumpah
sebab kebulatan ikrar tak akan berubah
apa saja kita tidak akan menyerah.
-Usman Awang (1961)
***Gambar dari Malay Mail Online