Tanah ini Tanah Anarki
Tatkala mentari di tanah Anarki kian mencengkam,
jenazah sang penari diusung ke makam,
penuh hiba dan muram,
dan helang berjalan pulang dengan penuh kemegahan,
diiringi sang arnab yang tertipu dengan kekayaan dan kalam picisan,
tidak menyedari ia bakal menjadi jamuan makan malam.
Hari ini para syaitan bersyukur memanjatkan doanya,
di atas kewujudan dunia tanpa pelangi,
yang selama ini mewarnai,
setiap kehidupan di atas dunia..
Hanya gerimis hujan yang menyirami,
mengiringi setiap tangisan para abdi dan sahaya.
Bunga Raya merah kian menghitam,
layu di atas pusara sang penari,
sehingga membunuh seluruh asmara,
Ketika cinta ini hampir tenggelam,
kita mesti bangkit kembali,
dengan Harapan yang digenggam,
agar kemerahannya kembali mewarnai.
Hari ini juga para malaikat telah pergi,
dan tak akan pernah kembali,
Melihat dari atas langit yang tinggi,
sambil bertakbir memuji,
kalam para ugamawan abadi,
kepada para biri-biri,
carilah sebilah belati
Tancapkan ia di dada dan hati,
tikamlah serigala tanpa henti,
Lindungilah dirimu dari setiap yang keji,
Biarkan serigala pergi,
bersama darah-nya yang tidak lagi suci.
Hakikatnya kita masih tak sempurna,
kita masih jauh dari tanah yang merdeka,
Kita hanya bernyanyi, tanah ini abadi,
dan ia takkan pernah berhenti,
para binatang, abdi dan sahaya,
seolah-olah lupa bahawa inilah tanah Anarki.
Harapnya sepotong sabda diungkapkan,
seraya gerhana menghalangi sang suria,
para pencari makna dan kehidupan,
giat mencari sebuah jawapan,
kenapa tanah ini masih dirundung kegelapan
dan kemunafikan?
Andzarwir Zakaria
Alor Setar, Kedah
(penulis adalah abdi dan sahaya yang mengiringi penari ke makam dan melihat bagaimana rakusnya keluarga helang melahap arnab yang masih bernyawa).