Bangi,20 januari 2020  – ” Setiap orang bisa menjadi pelajar, tetapi tak semua orang bisa menjadi pelajar yang terpelajar”, Begitulah pendapat dari Mr.Mohammed imran Bin Mohammed taib yang juga pengasas reading group singapore saat menjadi pembentang dalam dialog bersama divisi intelektual dan pengembangan organisasi persatuan pelajar indonesia cawangan UKM yang juga menghadirkan Dr.Muhammad Said, M.Hum, peneliti dari Institute of southeast asia islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, indonesia pada tanggal 16 januari 2020 lalu.

Dialog online yang bertajuk “ Menjaga intelektualitas di tengah pandemi covid-19”  mencuba menerokai intelektualitas dari sudut pandang falsafah yang jarang didedahkan selama masa pandemi covid-19 berbanding dengan wacana ekonomi, kesehatan, politik, sosial, dan psikologi. menurut Dr.Muhamamd said,M.Hum membangun wacana intelektualitas pastinya sangat penting agar kita mampu berproses menjadi kaum intelektual yang sebenarnya, tulisan ini akan mendedahkan tiga point penting yang menjadi strategi dalam menjaga intelektualitas selama pandemi covid 19 dan juga krisis-krisis lainnya, untuk rekaman daripada dialog ini bisa di lihat di facebook PPI UKM.

Dimulai dengan akal budi

Akal budi adalah keistimewaan yang hanya di miliki oleh manusia namun seringkali keistimewaan ini jarang di gunakan atau meskipun digunakan seringkali terjebak pada kedangkalan, pembentang pertama Mr.Mohammad imran bin Mohmmad taib berhujjah jika sebelum, sesudah, bahkan mungkin setelah pandemi wacana intelektualitas akan tetap sama, selalunya berjarak dan masih belum mampu meningkatkan kualitas berpikir di tengah masyarakat.

Menurut Mr.Mohammed imran ada tiga pertanyaan yang bisa digunapakai untuk menganalisis sejauh mana peran intelektualitas di tengah masyarakat yang pertama adakah kesadaran?, Kedua adakah komuniti intelektual ?, Ketiga adakah semangat ingin tahu yang kuat ? .

Ketiga hal ini bisa terjawab jika pandangan masyarakat terhadap intelektualisme tidak terjebak hanya pada materi dan pendidikan sebagai pendorong sekaligus penguatnya tidak terjebak pada hagemoni kekuasaan.

Akal budi bisa memainkan peranan saat pandangan terhadap intelektualitas itu rencam dan pendidikan pun bebas serta progresif namun iaanya juga perlu usaha berterusan untuk membawa wacana dalam tindakan ke ranah masyarakat, seorang atau kelompok yang mendaku intelektual tidak boleh mengambil jarak dari masyarakat kerana wacana tidak akan bisa merubah apapun jika tidak di aplikasikan di lapangan.

Dalam konteks pandemi dan mungkin setiap krisis, sebenarnya telahpun membuka ruang bagi intelektualitas kerana menurut Mr.Mohammad imran bin Mohammad taib ada tiga ruang yang dicipta oleh pandemi covid 19 , (1). ruang inovasi saat dimana ruang cyber telahpun meningkat kualitinya sehingga memudahkan kita saling berkomunikasi di tengah segala polisi had yang berlaku, (2).ruang nir-geography and fisik kerana teknologi yang sudah berkualiti maka keterbatasan jarak sudah tak lagi berlaku , (3). Ruang yang memperlambat waktu, banyaknya polisi pembatasan ruang gerak membuat kita merasakan seolah-olah waktu melambat dan lebih banyak waktu untuk kita dapat meneroka ilmu pengetahuan.

Tiga ruang itu sepatutnya bisa menjadi peluang menyebarkan gagasan dan tindakan intelektual yang berkualiti tapi ehwal ini berdepan dengan gejala yang di sebut pemikiran lambat  yang  oleh Ortega, penulis spanyol disebutkan sebagai  kondisi seolah-olah merasa pemikiran kelompok kita sudah sampai pada tahap yang berkualiti tapi selalunya melompat-lompat dari satu fokus ke fokus lainnya.

Jadilah intelektual organik Yang kreatif

Menurut Dr. Muhamamad Said,M.Hum  yang mengutip pemikiran gramsci dalam buku catatan dari penjara yang  membagi para intelektual itu kedalam dua kelompok yang pertama  intelektual tradisional, seperti guru, imam dan pentadbir, yang terus melakukan perkara yang sama dari generasi ke generasi; dan, kedua, intelektual organik, yang dilihat Gramsci adalah intelektual yang secara langsung terjun dan tumbuh di tengah kondisi masyarakat.

Tapi untuk menjadi intelektual yang organik, perlu ditumbuhkan budaya literasi kerana perintah daripada agama khasnya islam sahaja yang pertama sebenarnya adalah membaca dari sini kemudian terciptakan kualiti intelektual yang bagus baik bagi dirinya sendiri mahupun masyarakat.

Dianya juga harus kreatif, dalam menggunakan ruang-ruang sosialnya khasnya disini adalah teknologi, kerana menurut Dr.Muhamamd Said, M.Hum dizaman teknologi ini idea amat bergantung pada kecepatan penyebaran bukan pada kecepatan untuk menangkap informasi.

Jangan menjadi intelektual yang pandir.

Dalam closing statement-nya Mr.Mohammad Imran mengutip lima ciri intelektual yang pandir atau dalam bahasa indonesia disebut dungu yang di hujjahkan oleh Syed Hussen Alatas dalam bukunya bertajuk ” Intelektual masyarakat membangun” diantaranya (1). tidak mampu menganalisis masalah, (2). jika diberi tahu tentang masalah tidak mampu menyelesaikannya malah mengabaikannya,(3). tidak mampu mempelajari apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, (4) Tidak tahu caranya mempelajari pengetahuan itu atau tidak ada niat untuk mempelajari gayanya belajar, (5). Tidak mau mengetahui apatah lagi menyadari kepandiran dirinya.

Mengatasi atau menghindari agar tak menjadi intelektual yang pandir ini memang butuh proses selama kita masih dibagi kesempatan untuk belajar oleh kerana itu menurut Dr. Muhamamd Said,M.Hum tidak ada kata terlambat ,yang diperlukan hanyalah menyadari, membaur, dan mulai berkontribusi.

Kedua pembentang kemudian bersepakat objektif daripada intelektualisme dalam konteks wilayah asia tenggara adalah bisa terbebas dari pengaruh kolonial yang menjebak kita pada gaya berpikir yang dangkal dan sikap yang merasa rendah selalu.

Taktis  yang bisa dilakukan ialah membuat gerakan intelektual yang memiliki kurikulum yang jelas , objektif yang tegas , dan para individu yang selalu memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Mengutip perkataan daripada edward said tentang intelektualitas, jangan takut menjadi intelektual yang amature yang terjun pada setiap masalah karena berhasrat dengan intelektualitas.

By Mansurni Abadi

Knowledge seeker and activist that help Indonesia moving library network in Sumatra island, graduate from American English Skills Development Center Manila, Philippines ( Diploma in English), IIB dharmakaya Lampung ( BA in Hr management ), and Muhammadiyah Lampung univ ( BA in psychology ) than ever work and study English and NLP in Australia ( Perth and Sydney ) and exchange to Laos, Cambodia, Myanmar, and Thailand. Currently, doing master degree research program in ethnic studies, National University of Malaysia, and active in a few local and international youth organization. I define my self as an activist who likes it with travel because when we explore the depth of our curiosity about the world, we are often called to challenge and question the way things are and why

Leave a Reply